BERITA HEWAN Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr.drh. Dondin Sajuthi mengatakan saat ini baru ada satu orang dokter hewan praktisi hewan percobaan bersertifikat di Indonesia. “Dokter hewan tersebut adalah mahasiswa bimbingan saya yang beberapa hari lalu mendapatkan ijazah Diplomat dari Amerika,” ujarnya di hadapan awak media saat konferensi pers pra orasi ilmiah di Executif Lounge Kampus IPB Baranangsiang Bogor, Kamis (26/3).
Dikatakan, profesi dokter hewan khusus hewan percobaan sangat dibutuhkan para peneliti. Pasalnya, penelitian bidang biomedis atau biosains kebanyakan menggunakan hewan laboratorium. Hal ini membuat para peneliti perlu berinteraksi dengan berbagai hewan laboratorium. Selain digunakan untuk penelitian, hewan laboratorium juga digunakan dalam jumlah yang banyak untuk kepentingan pendidikan mahasiswa.
Menurut Guru Besar yang akan melakukan Orasi Ilmiah di Kampus IPB Dramaga Sabtu (28/3) ini, permasalahan utama dalam hal ini adalah pada kesejahteraan hewan laboratorium tersebut. “Apakah peneliti mempertimbangkan bahwa perlakuan yang dipaparkan dapat menimbulkan penderitaan? Seringkali hewan menderita akibat eksperimentasi pada dirinya, dan menjadi cacat seumur hidupnya, bahkan sampai harus di-etanasi,” paparnya.
Di sisi lain, penelitian dengan menggunakan hewan laboratorium dapat memberikan solusi terhadap banyak sekali problema penyakit yang dialami manusia. Penelitian yang menggunakan hewan, sudah terbukti dapat menolong para peneliti untuk memperoleh solusi dalam pemahaman jalannya suatu penyakit, pengobatan, bahkan pencegahan sejumlah penyakit yang menghinggapi manusia maupun hewan.
“Contohnya produksi vaksin polio menggunakan sel ginjal Macaca Fascicularis atau monyet ekor panjang karena kekerabatannya paling dekat dengan manusia. Uji produk kecantikan menggunakan hewan babi karena karakter kulitnya mirip dengan kulit manusia. Uji obat kaki gajah menggunakan hewan lutung karena hewan ini bisa ditulari nyamuk vilariasis. Contoh lainnya uji obat penurun berat badan dan alzeimer menggunakan monyet,” terangnya.
Tujuan utama dari kesejahteraan hewan laboratorium, tambahnya, adalah mengeliminasi penelitian atau prosedur yang menimbulkan sakit dan nyeri pada hewan. Harapan ini tentu sulit untuk dicapai, akan tetapi usaha-usaha untuk meminimalisasikan dapat dilakukan dengan selalu berpegang untuk tetap mendapatkan hasil penelitian yang sahih, melalui pengutamaan penerapan konsep 3R, yaitu Reduction, Replacement, dan Refinement. “Seorang dokter hewan yang mengambil spesialisasi dalam hewan laboratorium mempunyai keahlian dan pengetahuan untuk dapat mencapai refinement ini,” ujarnya
Selain konsep 3R dalam manajemen dan melaksanakan penelitian dengan hewan yang dikandangkan, imbuhnya, kita juga harus mengingat bahwa hewan tersebut diusahakan untuk dapat menikmati Lima Kebebasan (Five Freedoms, 5F), yakni kebebasan dari rasa lapar, haus, dan malnutrisi; kebebasan dari rasa tidak nyaman; kebebasan dari nyeri, luka, dan penyakit; kebebasan untuk mengekspresikan tingkah laku aslinya; dan kebebasan dari ketakutan dan cekaman.
Ketidaktahuan peneliti mengenai hewan laboratorium yang dipilihnya dapat menyebabkan interpretasi hasil yang tidak akurat. Seperti contohnya, hewan yang hidup secara sosial kemudian ditempatkan dalam kandang individu, akan mengalami tingkat cekaman yang tinggi sehingga mempengaruhi jumlah hormon kortisol dalam darah, urin dan fesesnya. Jumlah hormon kortisol yang berubah ini berakibat pada keadaan fisiologis tubuh (terlihat pada data fisiologis tubuh) yang dapat mengganggu hasil penelitian.
Ketua Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Laboratorium Indonesia ini juga menyebutkan, ada beberapa dokter hewan praktisi laboratorium lain yang ada di Indonesia tetapi belum memiliki sertifikat resmi. Mereka tergabung dalam Asosisasi Dokter Hewan Praktisi Laboratorium Indonesia di bawah payung Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).(zul)